1. Insektisida Bakteri
Banyak bakteri yang diketahui dapat menginfeksi serangga namun selama ini hanya dua genus yang telah digunakan secara komersial untuk mengendalikan serangan hama. Yaitu Bacillus dan Serratia. Salah satu spesies, yaitu Bacillus thuringiensis (sering disingkat Bt), adalah bakteri yang berhasil digunakan secara luas sebagai insektisida mikrobia. Sebagai contoh B. thuringiensis subsp. Kurstaki telah digunakan secara luas untuk mengendalikan serangga Lepidoptera. Bacillus thuringiensis sampai sekarang sudah terdaftar lebih dari seratus produk B. thuringiensis subsp. Kurstaki (sering disingkat Bt.k). selain subsp. Kurstaki, beberapa subsp. Lain juga telah dikembangkan sebagai insektisida mikrobia, misalnya B. thuringiensis subsp. Aizawai yang digunakan untuk mengendalikan serangga Lepidoptera lain yang tidak rentan terhadap Bt.k.
B. thuringiensis adalah bakteri aerob yang tersebar di banyak habitat tanah, membentuk spora dan menghasilkan toksin yang dapat membunuh serangga target, yaitu toksin-α, toksin-β, eksotoksin-δ dan endotoksin-δ. Toksin-toksin tersebut diperoleh dalam bentuk kristal. Toksin B. thuringiensis dikode oleh gen cry yang ada pada plasmid di dalam sel bakteri tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis berupa kristal parasporal yang masih berupa prototoksin protoksin yang belum aktif. Pada waktu toksin tersebut dimakan oleh serangga yang rentan, maka protoksin tersebut akan terlarut dalam system pencernaan serangga yang bereaksi alkaline dan mengalami pemrosesan oleh enzim protease yang ada di dalam pencernaan serangga. Toksin yang sudah diaktifkan akan menembus matriks peritrophik dan menempel pada suatu reseptor yang sangat spesifik. Toksin tersebut kemudian menginduksi pembentukan pori-pori litik pada membran epitel. Pembentukan pori-pori tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan konsentrasi ion sehingga terjadi lisis sel. Pengurangan makan oleh larva dan akhirnya terjadi kematian larva. Sisa-sisa tubuh serangga yang mati tersebut dapat digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan B. thuringiensis dari sporanya. Bakteri yang tumbuh kemudian membentuk spora lagi dan melepaskannya kea lam/tanah sehingga dapat mengulangi siklus pertumbuhannya. Strain B. thuringiensis yang berbeda mempunyai plasmid yang mengandung gen toksin yang berbeda toksin yang dihasilkan oleh strain berbeda diklasifikasikan menggunakan notasi Cry (crystal toxin), misalnya Cry1, Cry2,
Pada tanaman trangenik padi, sifat padi yang direkayasa adalah ketahanan terhadap hama penggerek batang dengan cara mengintroduksikan gen cry dengan cara aplikasi teknologi DNA dan mengekspresikannya dalam jaringan tanaman, meskipun sampai saat ini belum ada varietas padi Bt yang siap dijual kepada petani, namun melalui teknologi DNA, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, telah berhasil menginsersikan gen cry1Ab yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis ke dalam genom padi cv. Rojolele. Gen ini menghasilkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap Lepidoptera, namun tidak berbahaya bagi manusia.
2. Pembuatan Tanaman Transgenik pada Padi yang Tahan Terhadap Serangan Hama.
a. Isolasi
Untuk membuat tanaman transgenik padi yang tahan terhadap hama, pertama-tama dilakukan identifikasi atau pencarian gen cry 1Ab yang akan menghasilkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap Lepidoptera. Gen ini berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis. Untuk menyisipkan gen cry 1Ab pada sel tanaman padi, maka terlebih dahulu harus dilakukan isolasi DNA yang mencakup gen tersebut. Caranya yaitu dengan pemecahan sel menggunakan enzim lisozim yang dapat memecah dinding sel dengan dikombinasikan dengan pemanasan terlebih dahulu sehingga sel lebih mudah untuk pecah. Setelah itu dilakukan pemurnian DNA genom dan kemudian dilakukan pemotongan DNA.
b. Pemotongan DNA
Pemotongan DNA genom B. Thuringiensis dengan menggunakan enzim endonuklease restriksi, yang sering digunakan adalah tipe II (enzim EcoRi) karena urutan nukleotida yang dikenali dan dipotong oleh enzim tersebut adalah sama sehingga memudahkan kloningnya.
c. Penyambungan DNA ke Dalam Vektor Plasmid Ti.
Molekul-molekul DNA yang mempunyai ujung hasil pemotongan yang sama dapat disambung dengan menggunakan enzim DNA ligase. Potongan DNA genom B. Thuringiensis kemudian disambungkan dengan potongan Plasmid Ti dalam sel Agrobacterium tumefaciens yang dapat digunakan untuk menyisipkan gen cry 1Ab ke dalam genom tanaman karena ada fragmen T-DNA yang diintegrasikan ke dalam genom tanaman pada waktu Agrobacterium tumefaciens menginfeksi sel tanaman. Gen cry 1Ab yang disisipkan pada daerah retriksi selanjutnya dapat diperbanyak di dalam sel Escheria coli sebagai inang sementara. Vektor rekombinan yang membawa gen cry 1Ab kemudian dimasukkan ke dalam sel Agrobacterium tumefaciens yang membawa plasmid Ti alami. Kemudian kedua plasmid tersebut berekombinasi homolog dan menyebabkan plasmid alami terintegrasi.
Gambar 1. skema kloning gen cry1Ab
d. Trnsformasi
1. Metode senjata gen atau penembakan mikro-proyektil.
Metode ini sering digunakan pada spesies jagung dan padi. Untuk melakukannya, digunakan senjata yang dapat menembakkan mikro-proyektil berkecepatan tinggi ke dalam sel tanaman. Mikro-proyektil tersebut akan mengantarkan gen cry 1Ab untuk masuk ke dalam sel tanaman padi. Penggunaan senjata gen memberikan hasil yang bersih dan aman, meskipun ada kemungkinan terjadi kerusakan sel selama penembakan berlangsung.
2. Metode transformasi yang diperantarai oleh Agrobacterium tumefaciens.
Metode Agrobacterium melibatkan penggunaan bakteri tanah dikenal sebagai Agrobacterium tumefaciens yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi sel-sel tumbuhan dengan sepotong DNA-nya Bakteri Agrobacterium tumefaciens dapat menginfeksi tanaman secara alami karena memiliki plasmid Ti, suatu vektor (pembawa DNA) untuk menyisipkan gen asing. Di dalam plasmid Ti terdapat gen cry 1Ab yang ingin dimasukkan ke dalam tanaman. Selanjutnya, A. tumefaciens secara langsung dapat memindahkan gen pada plasmid tersebut ke dalam genom (DNA) tanaman. Potongan DNA yang menginfeksi tanaman terintegrasi ke dalam kromosom tanaman melalui tumor-inducing plasmid (Ti plasmid) yang dapat mengontrol system selular tanaman dan menggunakannya untuk membuat banyak salinan DNA bakterinya sendiri. Ti plasmid adalah partikel DNA besar berbentuk lingkaran yang mereplikasi secara independen dari kromosom bakteri. Dengan cara demikian maka gen cry 1Ab akan terintegrasi dengan genom tanaman dan tetap setabil melalui pembelahan mitosis / meiosis sel tanaman. Setelah DNA asing menyatu dengan DNA tanaman maka sifat-sifat yang diinginkan dapat diekspresikan tumbuhan.
Gambar 2. tranformasi Agrobacterium tumefaciens ke dalam sel tanaman
Sel Agrobacterium tumefaciens yang sudah membawa gen cry selanjutnya ditumbuhkan bersama-sama dengan jaringan tanaman yang akan ditransformasi (teknik ko-kultivasi) jaringan tanaman yang akan di ko-kultivasi dengan Agrobacterium tumefaciens dapat diambil dari irisan daun (leaf disc). Jaringan tersebut kemudian dicelupkan sebentar ke dalam kultur Agrobacterium tumefaciens selama semalam, selanjutnya diletakkan pada kertas filter steril dan akhirnya diletakkan pada medium non-selektif untuk proses ko-kultivasi dengan Agrobacterium tumefaciens selama 2-3 hari. Medium yang digunakan tersebut juga mengandung antibiotik yang sesuai sehingga jaringan tanaman yang di transformasi tetap dapat tumbuh. Setelah proses transfer DNA selesai, dilakukan seleksi sel daun untuk mendapatkan sel yang berhasil disisipi gen cry 1Ab. Hasil seleksi ditumbuhkan menjadi kalus (sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi) hingga nantinya terbentuk akar dan tunas. Apabila telah terbentuk tanaman muda (plantlet), maka dapat dilakukan pemindahan ke tanah untuk menumbuhkannya. Untuk menganalisis keberhasilan transformasi tanaman maka dilakukan pengujian dengan menggunakan teknik DNA blotting, PCR.
Gambar 3. skema pembuatan tanaman transgenik
e. Analisis dan Pengujian Keberadaan gen cry1Ab
• Amplifikasi DNA dengan teknik PCR
Penyisipan fragmen gen cry 1Ab di dalam vektor dapat di analisis dengan melakukan amplifikasi DNA dengan teknik PCR (Polimerase Chain Reaction). Primer yang digunakan dapat berupa oligonukleotida yang komplementer fragmen gen cry 1Ab tersebut, atau oligonukleotida yang komplementer dengan bagian hulu dan hilir tempat penyisipan fragmen gen cry 1Ab tersebut. . Hasil amplifikasi selanjutnya dianalisis dengan elektroforensis menggunakan gel agarose untuk membuktikan apakah ada pita DNA yang dapat teramplifikasi.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1415161718 1920 2122 23 24 2526 2728 29 30 31 3233 34 35 36 37 38 39
Gb. 4 Hasil PCR dengan primer spesifik cryIAb dan gna 1= lamda hind III, 39= lamda hind III, 38= kontrol plasmid, 37= kontrol tanaman positif cryIAb dan gna, 36= kontrol negatif tanaman, 35= kontrol air, 2-34= sampel galur 6.11.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Gb. 5 Hasil PCR dengan primer spesifik amp . 1= lamda hind III, 2= kontrol plasmid, 3= kontrol tanaman positif amp, 4= kontrol negatif tanaman, 5= kontrol air, 6-25= sampel galur 6.11.
• Uji imunokimia
Protein insekisida yang berasal dari B. Thuringiensis adalah protein-protein yang bukan enzim sehingga ekspresi protein-protein asing semacam ini pada tanaman transgenik tidak dapat dilakukan dengan menganalisis aktivitas enzimatiknya. Untuk itu dilakukan pengujian dengan metode imunokimia yang menggunakan antibodi terhadap protein tersebut. Antibodi yang dibuat terhadap protein semacam itu selanjutnya digunakan dalam teknik uji imunokimia, misalnya dengan tekinik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) atau teknik imunoblotting.
Dengan teknik imunoblotting., protein-protein yang diekspresikan pada suatu jaringan tanaman, pertama kali harus di elektroforesis pada suatu gel. Kemudian dipindahkan (blotting) pada suatu membran khusus, misalnya nitroselulosa atau nilon. protein-protein yang menempel pada membran dengan (antigen) yang menjadi target analisis antibodi yang menempel pada protein target tersebut kemudian direaksikan dengan antibodi kedua yang dikonjugasi dengan enzim peroksidase. Selanjutnya ke dalam hasil reaksi antigen-antibodi tersebut ditambahkan senyawa kromogenik yang dapat menghasilkan perubahan warna. Hasil reaksi antigen-antibodi dideteksi secara langsung pada membran berupa pita berwarna.
1 2 3 4 5 6 7 8
Gb. 6. Protein gen cry1Ab
Gb. 7. Hasil Uji Immunostrip cryIAb lajur 1= Kontrol negatif tanaman (non transgenik), 2-8 sampel galur 6.11
bioteknologi
Kamis, 10 Februari 2011
Selasa, 01 Februari 2011
Vaksin Anthraks
1. Vaksin
Vaksin, suatu produk yang berupa sediaan berasal dari jasad renik dan bersifat imunogenik. Artinya mampu merangsang timbulnya kekebalan. Atau dapat juga terdiri dari jasad renik hidup yang sudah dilemahkan/dimatikan dengan bahan kimia. Terhadap semua penyakit virus, tindakan vaksinasi adalah mutlak dilakukan. Karena sampai sekarang penyakit akibat kuman virus, belum bisa disembuhkan dengan obat.
Vaksinasi bertujuan agar hewan ternak memperoleh kekebalan aktif buatan namun sama derajad kekebalannya atau bahkan lebih tinggi dari kekebalan alamiah, yang diperoleh setelah ternak sembuh dari serangan penyakit menular.
a. Tipe Vaksin yang Ada
Ada dua tipe vaksin yang beredar di pasaran dan telah banyak dikenal masyarakat ternak. Yakni tipe vaksin aktif, vaksin yang mengandung virus hidup. Kekebalan yang ditimbulkannya lebih lama. Dan tipe vaksin pasif, vaksin yang mengandung virus yang telah dilemahkan/dimatikan tanpa merubah struktur antigeniknya. Sehingga masih mampu merangsang timbulnya kekebalan. Namun kekebalan yang ditimbulkan relatif lebih pendek. Meski demikian keuntungannya lebih aman digunakan
b. Kegagalan Vaksinasi
Masalah yang sering timbul dalam praktik kedokteran veteriner adalah meski ternak sudah memperoleh vaksinasi secara teratur, namun kenyataannya masih banyak ternak yang terserang penyakit jika wabah terjadi secara ganas. Kegagalan vaksinasi ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Faktor Keturunan dan Lingkungan.
Kebanyakan hewan cenderung menanggapi antigen dengan tanggap kebal rata-rata, tapi sebagian kecil mengalami tanggap kebal yang sangat lemah.
2. Kondisi Ternak.
Tekanan jiwa (stres), kebuntingan, pengaruh dingin atau panas yang berkelebihan, kelelahan dan nutrisi yang kurang bagus, akan menghambat timbulnya kekebalan.
3. Cara Memberikan Vaksinasi Yang Kurang Tepat.
Bila pemberian aerosol (semprot) yang tidak merata atau melalui pemberian air minum, tetapi beberapa ternak tidak meminumnya, maka hewan akan tetap menderita penyakit. Karena tidak cukup mendapatkan dosis vaksinasi, atau sebaliknya penggunaan dosis yang berlebihan memicu kemunculan penyakit tersebut.
c. Persyaratan Vaksin Veteriner
Vaksinasi veteriner yang baik harus mempunyai kemampuan:
1. Mutu vaksin baik.
Kekebalan yang ditimbulkan harus mampu melindungi ternak terhadap peledakan panyakit alamiah yang ganas.
2. Sifat proteksi silang.
Sanggup melindungi dari beberapa strain penyebab penyakit yang ada.
3. Aman.
Vaksin tidak bersifat racun dan aman bila digunakan. ''Safety'' menjadi syarat utama pada vaksin aktif baik jenis (Strain Virus) yang digunakan maupun dosis penggunaannya.
4. Efek samping.
Tidak menimbulkan dampak negatif setelah vaksinasi.
5. Kekebalan.
Masa kekebalan yang ditimbulkannya cukup lama.
6. Kekebalan sempurna.
Vaksin tunggal (single dosis) mampu merangsang kekebalan yang sempurna.
7. Mantap dalam Penyimpanan.
Bila disimpan dalam suhu kamar struktur vaksin tetap sempurna demikian pula kualitasnya.
8. Praktis.
Mudah dalam penggunaannya.
9. Ekonomis.
Murah biaya produksi dan relativ kecil dosisnya.
Semua persyaratan tersebut rasanya sukar dipenuhi oleh suatu jenis vaksin mana pun. Sebab itu harus selalu mengadakan penelitian dan pengembangan metode produksi terhadap beberapa jenis vaksin. Paling tidak harus mengembangkan beberapa alternatif agar tercapai suatu optimalisasi dari berbagai kriteria tersebut.(drh. Suharna, 2004).
2. Cara Pembuatan Vaksin Anthraks
a. Sejarah
Tahun 1877. Seorang ilmuwan yang bernama Robert Koch ( penerima HadiahNobel Perdamaian pada tahun 1905), berhasil membiakkan kultur murni dari B. anthracis untuk pertama kalinya, sekaligus menunjukkan bahwa bakteri ini dapat membentuk spora serta membuktikan B. anthracis sebagai penyebab penyakit anthrax dengan cara menyuntikkannya pada hewan percobaan.
Tahun 1881. Louis Pasteur dengan bakteri yang sama berhasil menemukan vaksin untuk imunisasi lewat penyuntikan B. anthracis yang dilemahkan dalam percobaannya di depan umum yang terkenal di Pouilly Le Front, Perancis. B. antrachis sebenarnya telah memberikan sumbangan besar bagi kemanusian dengan menjadi model awal studi bacteriology dan immunology.
Tahun 2003. Sekelompok ilmuwan dari Boston berhasil membuat vaksin anthrax duo-aksi yang secara simultan mampu melindungi tubuh dari dua serangan yakni, serangan bakteri penyebab anthrax (Bacillus anhtracis) dan serangan racun yang dihasilkan olehnya. Menururt Dr.Julia A.Wangdari Brigham and Women’s Hospital keunikan vaksin ini adalah ia dapat menyerang kedua komponen penyebab penyakit anthrax tersebut. Menurut catatan para peneliti, vaksin tersebut merupakan kombinasi dari antibakterial (semisal prophylactic) dan antitoksik( semisal therapeutic) dan kombinasi tersebut diletakkan dalam satu vaksin. Menurut penelitian mereka pula dapat dibuktikan bahwa Antrax adalah penyakit yang mempunyai sejarah sangat panjang Penyakit ini telah ditemukan pula pada jaman Mesir kuno (Anonim, 2010).
b. Mekanisasi pembuatan
Inovasi bioteknologi terutama rekombinan DNA telah membuka kemungkinan baru untuk memproduksi vaksin hidup dengan mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan organisme vektor yang sesuai.
Cara membuat vaksin anthraks yaitu dengan menggunakan B. anthracis dilemahkan dengan cara dipanaskan dengan suhu kurang lebih 100º C karena spora antaks tergolong endospora sehingga tahan panas dan bisa dimusnahkan dengan suhu di atas 150º C. Setelah dipanaskan kemudian dicampurkan ke dalam larutan Aquades. Karena vaksin antraks berupa cairan.
Vaksin yang disuntikan ke dalam tubuh merangsang kekebalan. Vaksin antraks di dalam tubuh akan aktif (mengenali) jika ada bakteri antraks masuk ke dalam tubuh, sehingga tubuh sudah mempunyai kekebalan terhadap bakteri tersebut.
Vaksin yang terkandung dalam daging sapi tidak akan berbahaya jika dikonsumsi manusia, karna pada dasarnya vaksin tersebut mengandung bakteri yang sudah dilemahkan dan akan aktif (mengenali) jika ada bakteri antraks masuk ke dalam tubuh (Anonim, 2010).
c. Pengaplikasian vaksin antrhaks pada hewan ternak
Cara pencegahan penyakit anthrax dengan menvaksinasi hewan telah diresmikan pada tahun 1970. Vaksin terdiri dari enam dosis, tiga dosis pertama diberikan dengan interval dua minggu, tiga dosis berikutnya diberikan dalam 6, 12 dan 18 bulan setelah dosis pertama. Dosis tambahan diberikan setiap tahun untuk perlindungan terus-menerus.
Antibiotik yang bisa diberikan untuk penyakit anthrax adalah penicillin, doxycycline, fluoroquinoloness, doxycycline dan ciprofloxacin. Demam diusahakan diturunkan dengan kompres dingin atau pemberian obat penurun panas.
Cara pencegahan menyebarnya penyakit adalah dengan memusnahkan hewan yang diduga terjangkit penyakit itu, menghindari bersentuhan dengan bagian-bagian atau produk dari hewan sakit tersebut dan menghindari menghirup spora anthrax misalnya dengan menggunakan masker.
Vaksin, suatu produk yang berupa sediaan berasal dari jasad renik dan bersifat imunogenik. Artinya mampu merangsang timbulnya kekebalan. Atau dapat juga terdiri dari jasad renik hidup yang sudah dilemahkan/dimatikan dengan bahan kimia. Terhadap semua penyakit virus, tindakan vaksinasi adalah mutlak dilakukan. Karena sampai sekarang penyakit akibat kuman virus, belum bisa disembuhkan dengan obat.
Vaksinasi bertujuan agar hewan ternak memperoleh kekebalan aktif buatan namun sama derajad kekebalannya atau bahkan lebih tinggi dari kekebalan alamiah, yang diperoleh setelah ternak sembuh dari serangan penyakit menular.
a. Tipe Vaksin yang Ada
Ada dua tipe vaksin yang beredar di pasaran dan telah banyak dikenal masyarakat ternak. Yakni tipe vaksin aktif, vaksin yang mengandung virus hidup. Kekebalan yang ditimbulkannya lebih lama. Dan tipe vaksin pasif, vaksin yang mengandung virus yang telah dilemahkan/dimatikan tanpa merubah struktur antigeniknya. Sehingga masih mampu merangsang timbulnya kekebalan. Namun kekebalan yang ditimbulkan relatif lebih pendek. Meski demikian keuntungannya lebih aman digunakan
b. Kegagalan Vaksinasi
Masalah yang sering timbul dalam praktik kedokteran veteriner adalah meski ternak sudah memperoleh vaksinasi secara teratur, namun kenyataannya masih banyak ternak yang terserang penyakit jika wabah terjadi secara ganas. Kegagalan vaksinasi ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Faktor Keturunan dan Lingkungan.
Kebanyakan hewan cenderung menanggapi antigen dengan tanggap kebal rata-rata, tapi sebagian kecil mengalami tanggap kebal yang sangat lemah.
2. Kondisi Ternak.
Tekanan jiwa (stres), kebuntingan, pengaruh dingin atau panas yang berkelebihan, kelelahan dan nutrisi yang kurang bagus, akan menghambat timbulnya kekebalan.
3. Cara Memberikan Vaksinasi Yang Kurang Tepat.
Bila pemberian aerosol (semprot) yang tidak merata atau melalui pemberian air minum, tetapi beberapa ternak tidak meminumnya, maka hewan akan tetap menderita penyakit. Karena tidak cukup mendapatkan dosis vaksinasi, atau sebaliknya penggunaan dosis yang berlebihan memicu kemunculan penyakit tersebut.
c. Persyaratan Vaksin Veteriner
Vaksinasi veteriner yang baik harus mempunyai kemampuan:
1. Mutu vaksin baik.
Kekebalan yang ditimbulkan harus mampu melindungi ternak terhadap peledakan panyakit alamiah yang ganas.
2. Sifat proteksi silang.
Sanggup melindungi dari beberapa strain penyebab penyakit yang ada.
3. Aman.
Vaksin tidak bersifat racun dan aman bila digunakan. ''Safety'' menjadi syarat utama pada vaksin aktif baik jenis (Strain Virus) yang digunakan maupun dosis penggunaannya.
4. Efek samping.
Tidak menimbulkan dampak negatif setelah vaksinasi.
5. Kekebalan.
Masa kekebalan yang ditimbulkannya cukup lama.
6. Kekebalan sempurna.
Vaksin tunggal (single dosis) mampu merangsang kekebalan yang sempurna.
7. Mantap dalam Penyimpanan.
Bila disimpan dalam suhu kamar struktur vaksin tetap sempurna demikian pula kualitasnya.
8. Praktis.
Mudah dalam penggunaannya.
9. Ekonomis.
Murah biaya produksi dan relativ kecil dosisnya.
Semua persyaratan tersebut rasanya sukar dipenuhi oleh suatu jenis vaksin mana pun. Sebab itu harus selalu mengadakan penelitian dan pengembangan metode produksi terhadap beberapa jenis vaksin. Paling tidak harus mengembangkan beberapa alternatif agar tercapai suatu optimalisasi dari berbagai kriteria tersebut.(drh. Suharna, 2004).
2. Cara Pembuatan Vaksin Anthraks
a. Sejarah
Tahun 1877. Seorang ilmuwan yang bernama Robert Koch ( penerima HadiahNobel Perdamaian pada tahun 1905), berhasil membiakkan kultur murni dari B. anthracis untuk pertama kalinya, sekaligus menunjukkan bahwa bakteri ini dapat membentuk spora serta membuktikan B. anthracis sebagai penyebab penyakit anthrax dengan cara menyuntikkannya pada hewan percobaan.
Tahun 1881. Louis Pasteur dengan bakteri yang sama berhasil menemukan vaksin untuk imunisasi lewat penyuntikan B. anthracis yang dilemahkan dalam percobaannya di depan umum yang terkenal di Pouilly Le Front, Perancis. B. antrachis sebenarnya telah memberikan sumbangan besar bagi kemanusian dengan menjadi model awal studi bacteriology dan immunology.
Tahun 2003. Sekelompok ilmuwan dari Boston berhasil membuat vaksin anthrax duo-aksi yang secara simultan mampu melindungi tubuh dari dua serangan yakni, serangan bakteri penyebab anthrax (Bacillus anhtracis) dan serangan racun yang dihasilkan olehnya. Menururt Dr.Julia A.Wangdari Brigham and Women’s Hospital keunikan vaksin ini adalah ia dapat menyerang kedua komponen penyebab penyakit anthrax tersebut. Menurut catatan para peneliti, vaksin tersebut merupakan kombinasi dari antibakterial (semisal prophylactic) dan antitoksik( semisal therapeutic) dan kombinasi tersebut diletakkan dalam satu vaksin. Menurut penelitian mereka pula dapat dibuktikan bahwa Antrax adalah penyakit yang mempunyai sejarah sangat panjang Penyakit ini telah ditemukan pula pada jaman Mesir kuno (Anonim, 2010).
b. Mekanisasi pembuatan
Inovasi bioteknologi terutama rekombinan DNA telah membuka kemungkinan baru untuk memproduksi vaksin hidup dengan mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan organisme vektor yang sesuai.
Cara membuat vaksin anthraks yaitu dengan menggunakan B. anthracis dilemahkan dengan cara dipanaskan dengan suhu kurang lebih 100º C karena spora antaks tergolong endospora sehingga tahan panas dan bisa dimusnahkan dengan suhu di atas 150º C. Setelah dipanaskan kemudian dicampurkan ke dalam larutan Aquades. Karena vaksin antraks berupa cairan.
Vaksin yang disuntikan ke dalam tubuh merangsang kekebalan. Vaksin antraks di dalam tubuh akan aktif (mengenali) jika ada bakteri antraks masuk ke dalam tubuh, sehingga tubuh sudah mempunyai kekebalan terhadap bakteri tersebut.
Vaksin yang terkandung dalam daging sapi tidak akan berbahaya jika dikonsumsi manusia, karna pada dasarnya vaksin tersebut mengandung bakteri yang sudah dilemahkan dan akan aktif (mengenali) jika ada bakteri antraks masuk ke dalam tubuh (Anonim, 2010).
c. Pengaplikasian vaksin antrhaks pada hewan ternak
Cara pencegahan penyakit anthrax dengan menvaksinasi hewan telah diresmikan pada tahun 1970. Vaksin terdiri dari enam dosis, tiga dosis pertama diberikan dengan interval dua minggu, tiga dosis berikutnya diberikan dalam 6, 12 dan 18 bulan setelah dosis pertama. Dosis tambahan diberikan setiap tahun untuk perlindungan terus-menerus.
Antibiotik yang bisa diberikan untuk penyakit anthrax adalah penicillin, doxycycline, fluoroquinoloness, doxycycline dan ciprofloxacin. Demam diusahakan diturunkan dengan kompres dingin atau pemberian obat penurun panas.
Cara pencegahan menyebarnya penyakit adalah dengan memusnahkan hewan yang diduga terjangkit penyakit itu, menghindari bersentuhan dengan bagian-bagian atau produk dari hewan sakit tersebut dan menghindari menghirup spora anthrax misalnya dengan menggunakan masker.
Kamis, 20 Januari 2011
PEMBUATAN BIOETANOL di PG/PS MADUKISMO
PROSES PEMBUATAN BIOETANOL
A. Sejarah Singkat
PG/PS Madukismo adalah satu-satunya pabrik gula dan pabrik alkohol atau spiritus di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mengemban tugas untuk mensukseskan program pengadaan pangan nasional, khususnya gula pasir. Sebagai perusahaan padat karya yang banyak menampung tenaga kerja dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dibangun : tahun 1955
Atas prakarsa : Sri Sultan Hamengkubuono IX
Diresmikan : tanggal 29 mei 1958
Oleh Presiden RI pertama kali Ir. Soekarno
Mulai produksi : Pabrik gula tahun 1958
Pabroik alkohol/sepiritus tahun 1959.
Kontraktor : Machine Fabriek Sangerhausen dari Jerman Timur.
B. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk membuat bioetanaol adalah tetes, yang merupakan hasil sampingan dari PG. Madukismo. Proses yang dipakai adalah peragian (fermentasi), dari ragi yang dipakai : Sacharomyces Cereviceae. Enzim yang ada dalam ragi ini mengubah gula yang masih ada dalam tetes menjadi alkohol dan gas CO2
Reaksi kimia :
• Sakarosa dihidrolisa menjadi glukosa (gula reduksi)
C12 H22 O11+ H2O → 2C6 H12 O6
• Gula reduksi bereaksi menjadi alkohol + gas CO2
C6 H12 O6 → 2C2 H5 OH + 2CO2 → alkohol
C. Proses Pembibitan dan Fermentasi
Proses :
1. Dalam memperbanyak Saccharomyces Cereviseae dengan cara kultur dengan menggunakan.
Medium : gulosa, pepton, ekstrak tauge, ekstrak pisang ambon, agar
Tetes tebu/molase sebagai aklimitasi
Peremajaan kultur Saccharomyces Cereviseae dilakukan 1 bulan sekal, maksilmal 2 bulan dengan tujuan untuk mengaktifkan kembali fungsi kerja Saccharomyces Cereviseae.
2. Dibuat secara 2 tahap :
a. 30 cc dengan Brix 6
Untuk mengukur kadar brik dengan menggunakan Brix meter. Kemudian penambahan urea sebanyak 1 gr, NPK sebanyak 0,3 gt, H2SO4 dengan PH 4,8.
b. 1L dengan Brix 14
Semakin tinggi kadar brix, semakin pekat larutannya, penambahan urea 1 gr, NPK sebanyak 0,3 gr, H2SO4 dengan PH 4,8
Setelah selesai di buat, kemudian disterilisasi dengan pemanasan biasa. Memasukan masing-masing larutan ke dalam erlenmayer ( I dan II ). Kemudian dipanaskan dan didinginkan / diinkubasi selama 24 jam.
3. Menyiapkan tangki 19 dengan kapasitas tangki 12 L, penambahannya Urea 10 gr, NPK 3 gr, H2SO4 pH 4,8 dan memasukan erlenmeyer I dan II ke dalam tangki 19 di inkubasi selama 24 jam.
4. Menyiapkan tangki 20 dengan kapasitas tangki 48 L, penambahan urea 48gr NPK 14,4 gr, H2SO4 dengan pH 4,8, dan dimasukan hasil inkubasi dari tangki 19 kemudian di inkubasi kembali 24 jam.
5. Hasil pada tahap ke empat selanjutnya dimasukan ke tangki 21 dengan kapasitas tangki 480 L dan penambahan urea 480gr, NPK 144gr, H2SO4 dengan pH 4,8 diinkubasi 24 jam
6. Hasil pada tahap ke 5, selanjutnya dimasukan ke tangki 22/1 dengan kapasitas tangki 3010L diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam masuk ketangki 22/2 dengan kapasitas tangki 3010 L diinkubasi kembali selama 16 jam dan diperoleh bibit /starter Saccharomyces Cereviseae dalam tangki sebanyak 350 L dan kondisi bibit / starter masih aerob.
7. Bibit / starter Saccharomyces Cereviseae pada tangki 22/2 diinginkan sebanyak 2660L dan dicampurkan ke dalam tangki 25 yang berkapasitas 18000L, dengan penambahan Urea, NPK dan H2SO4 dan diinkubasi kembali selama 16 jam, kondisi masih aerob.
8. Hasil pada tahap ke 7 selanjutnya di masukan kedalam tangki 26 berkapasitas 75000L (sludge) dan diinkubasi selama 50 jam, kondisi anaerob.
Hasil akhir berupa alkohol dengen kadar maksimal 10 % untuk menaikan kadar absolut 95% untuk menjadi bioetanol dilakukan proses penyulingan / distilasi. Dan untuk proses pembuatan spritus dibutuhkan kadar alkohol dibawah 94% dengan proses penyulingan dan penambahan metyl blue.
D. Penyulingan
Adonan yang telah selesai diragikan, dipisahkan alkoholnya (disuling) di dalam pesawat penyulingan yang terdiri dari 4 kolom
• Kolom Maische
• Kolom Rectifiser
• Kolom Voorloop
• Kolom Nachloop
Penyulingan menggunakan tenaga uap dengan tekanan 0.5 kg/cm2 suhu 120º
a. Kolom Maische :
Alkohol kasar kadar ± 45% → masuk ke Kolom Voorloop
Hasil bawah : Vinase dibuang
b. Kolom Voorloop
Hasil atas : Alkohol teknis kadar : 94% masih mengandung aldehid, ditampung sebagai hasil
Hasil bawah : Alkohol mudah kadar ± 25% → masuk ke Kolom Rectifiser
c. Kolom Rectifiser
Hasil atas : alkohol murni (prima 1) kadar minimal 95% ditampung sebagai hasil
Hasil tengah : alkohol mudah yang mengandung minyak Fusel, masuk Kolom Nachloop
Hasil bawah : Lutter washer, air yang bebas alkohol, kadang-kadang bila perlu sebagian digunakan untuk menamnah kolom Voorloop sebagai bahan penyerap alkohol dan sebagian dibuang.
d. Kolom Nachloop
Hasil atas : alkohol teknis kadar 94% ditampung sebagai hasil.
Hasil bawah : air yang bebas alkohol, dibuang.
Minyak Fusel (amyl alcohol) merupakan hasil samping pabrik spiritus, ini bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan essence (amylacetat).
Gambar. Diagram alir pembuatan alkohol PS. Madukismo
E. Hasil Produksi
Alkohol dibedakan atas dasar kualitas :
1. Alkohol teknis : yang masih mengandung aldehid, kadar ± 94% digunakan untuk membuat spiritus bakar
2. Alkohol murni : minimal kadar 95% bisa dipakai industri farmasi, kosmetik dll
Hasil sampingan : minyak fusel (amyl alcohol)
Pemakaian tetes : rata-rata satu hari 900 kuintal
Produksi rata-rata : 25.000 liter alkohol per 24 jam, terdiri dari (88% alkohol murni, 12% alkohol tetes).
Rendemen : 28% (28 liter alkohol per kuintal tetes).
A. Sejarah Singkat
PG/PS Madukismo adalah satu-satunya pabrik gula dan pabrik alkohol atau spiritus di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mengemban tugas untuk mensukseskan program pengadaan pangan nasional, khususnya gula pasir. Sebagai perusahaan padat karya yang banyak menampung tenaga kerja dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dibangun : tahun 1955
Atas prakarsa : Sri Sultan Hamengkubuono IX
Diresmikan : tanggal 29 mei 1958
Oleh Presiden RI pertama kali Ir. Soekarno
Mulai produksi : Pabrik gula tahun 1958
Pabroik alkohol/sepiritus tahun 1959.
Kontraktor : Machine Fabriek Sangerhausen dari Jerman Timur.
B. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk membuat bioetanaol adalah tetes, yang merupakan hasil sampingan dari PG. Madukismo. Proses yang dipakai adalah peragian (fermentasi), dari ragi yang dipakai : Sacharomyces Cereviceae. Enzim yang ada dalam ragi ini mengubah gula yang masih ada dalam tetes menjadi alkohol dan gas CO2
Reaksi kimia :
• Sakarosa dihidrolisa menjadi glukosa (gula reduksi)
C12 H22 O11+ H2O → 2C6 H12 O6
• Gula reduksi bereaksi menjadi alkohol + gas CO2
C6 H12 O6 → 2C2 H5 OH + 2CO2 → alkohol
C. Proses Pembibitan dan Fermentasi
Proses :
1. Dalam memperbanyak Saccharomyces Cereviseae dengan cara kultur dengan menggunakan.
Medium : gulosa, pepton, ekstrak tauge, ekstrak pisang ambon, agar
Tetes tebu/molase sebagai aklimitasi
Peremajaan kultur Saccharomyces Cereviseae dilakukan 1 bulan sekal, maksilmal 2 bulan dengan tujuan untuk mengaktifkan kembali fungsi kerja Saccharomyces Cereviseae.
2. Dibuat secara 2 tahap :
a. 30 cc dengan Brix 6
Untuk mengukur kadar brik dengan menggunakan Brix meter. Kemudian penambahan urea sebanyak 1 gr, NPK sebanyak 0,3 gt, H2SO4 dengan PH 4,8.
b. 1L dengan Brix 14
Semakin tinggi kadar brix, semakin pekat larutannya, penambahan urea 1 gr, NPK sebanyak 0,3 gr, H2SO4 dengan PH 4,8
Setelah selesai di buat, kemudian disterilisasi dengan pemanasan biasa. Memasukan masing-masing larutan ke dalam erlenmayer ( I dan II ). Kemudian dipanaskan dan didinginkan / diinkubasi selama 24 jam.
3. Menyiapkan tangki 19 dengan kapasitas tangki 12 L, penambahannya Urea 10 gr, NPK 3 gr, H2SO4 pH 4,8 dan memasukan erlenmeyer I dan II ke dalam tangki 19 di inkubasi selama 24 jam.
4. Menyiapkan tangki 20 dengan kapasitas tangki 48 L, penambahan urea 48gr NPK 14,4 gr, H2SO4 dengan pH 4,8, dan dimasukan hasil inkubasi dari tangki 19 kemudian di inkubasi kembali 24 jam.
5. Hasil pada tahap ke empat selanjutnya dimasukan ke tangki 21 dengan kapasitas tangki 480 L dan penambahan urea 480gr, NPK 144gr, H2SO4 dengan pH 4,8 diinkubasi 24 jam
6. Hasil pada tahap ke 5, selanjutnya dimasukan ke tangki 22/1 dengan kapasitas tangki 3010L diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam masuk ketangki 22/2 dengan kapasitas tangki 3010 L diinkubasi kembali selama 16 jam dan diperoleh bibit /starter Saccharomyces Cereviseae dalam tangki sebanyak 350 L dan kondisi bibit / starter masih aerob.
7. Bibit / starter Saccharomyces Cereviseae pada tangki 22/2 diinginkan sebanyak 2660L dan dicampurkan ke dalam tangki 25 yang berkapasitas 18000L, dengan penambahan Urea, NPK dan H2SO4 dan diinkubasi kembali selama 16 jam, kondisi masih aerob.
8. Hasil pada tahap ke 7 selanjutnya di masukan kedalam tangki 26 berkapasitas 75000L (sludge) dan diinkubasi selama 50 jam, kondisi anaerob.
Hasil akhir berupa alkohol dengen kadar maksimal 10 % untuk menaikan kadar absolut 95% untuk menjadi bioetanol dilakukan proses penyulingan / distilasi. Dan untuk proses pembuatan spritus dibutuhkan kadar alkohol dibawah 94% dengan proses penyulingan dan penambahan metyl blue.
D. Penyulingan
Adonan yang telah selesai diragikan, dipisahkan alkoholnya (disuling) di dalam pesawat penyulingan yang terdiri dari 4 kolom
• Kolom Maische
• Kolom Rectifiser
• Kolom Voorloop
• Kolom Nachloop
Penyulingan menggunakan tenaga uap dengan tekanan 0.5 kg/cm2 suhu 120º
a. Kolom Maische :
Alkohol kasar kadar ± 45% → masuk ke Kolom Voorloop
Hasil bawah : Vinase dibuang
b. Kolom Voorloop
Hasil atas : Alkohol teknis kadar : 94% masih mengandung aldehid, ditampung sebagai hasil
Hasil bawah : Alkohol mudah kadar ± 25% → masuk ke Kolom Rectifiser
c. Kolom Rectifiser
Hasil atas : alkohol murni (prima 1) kadar minimal 95% ditampung sebagai hasil
Hasil tengah : alkohol mudah yang mengandung minyak Fusel, masuk Kolom Nachloop
Hasil bawah : Lutter washer, air yang bebas alkohol, kadang-kadang bila perlu sebagian digunakan untuk menamnah kolom Voorloop sebagai bahan penyerap alkohol dan sebagian dibuang.
d. Kolom Nachloop
Hasil atas : alkohol teknis kadar 94% ditampung sebagai hasil.
Hasil bawah : air yang bebas alkohol, dibuang.
Minyak Fusel (amyl alcohol) merupakan hasil samping pabrik spiritus, ini bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan essence (amylacetat).
Gambar. Diagram alir pembuatan alkohol PS. Madukismo
E. Hasil Produksi
Alkohol dibedakan atas dasar kualitas :
1. Alkohol teknis : yang masih mengandung aldehid, kadar ± 94% digunakan untuk membuat spiritus bakar
2. Alkohol murni : minimal kadar 95% bisa dipakai industri farmasi, kosmetik dll
Hasil sampingan : minyak fusel (amyl alcohol)
Pemakaian tetes : rata-rata satu hari 900 kuintal
Produksi rata-rata : 25.000 liter alkohol per 24 jam, terdiri dari (88% alkohol murni, 12% alkohol tetes).
Rendemen : 28% (28 liter alkohol per kuintal tetes).
Langganan:
Postingan (Atom)